Doa dan Bacaan I'tidal Arab, Latin dan Artinya (Lengkap)

Sederhananya, i’tidal adalah gerakan setelah bangkit dari ruku. Adapun Doa dan Bacaan I'tidal Arab, Latin dan Artinya lengkap bisa anda baca dibawah.

Doa dan Bacaan I'tidal adalah salah satu bacaan pada rukun dalam sholat fardhu, yakni mengangkat kedua tangan setelah ruku. Terdapat dua lafadz dalam gerakan i’tidal, yakni bacaan saat mengangkat tangan dan sesudahnya. Bahkan beberapa kalangan menyertakan pula doa tersendiri.

Namun, bagaimana sesungguhnya hukum yang menyertai bacaan ketika i’tidal ini? Apakah bacaan i’tidal wajib? Apakah sama dengan bacaan-bacaan dalam ruku dan sujud, yang sama-sama rukun fi’li atau gerakan yang dikerjakan dengan tuma’ninah? Jikapun iya, lalu apakah arti bacaan i’tidal dalam sholat?

Makna Kata I'tidal

Sederhananya, i’tidal adalah gerakan setelah bangkit dari ruku. I’tidal secara bahasa artinya menjadikan sesuatu agar lurus dan tegak. Begitu pula arti secara istilahnya, yakni pergerakan badan dari yang tadinya ruku, kemudian bangkit dan menjadi tegak lurus.

Tata Cara I’tidal yang Benar

Terjadi perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, mengenai cara pelaksanaan gerakan i’tidal. Haruskah kedua tangan bersedekap kembali? Ataukah melepaskan kedua tangan ke samping badan? Setidaknya terdapat dua pendapat mengenai ini.

1. Pendapat Tangan Bersedekap Kembali

Pendapat yang pertama mengatakan bahwa kedua tangan harus kembali bersedekap. Alasannya berdasarkan hadits dari Waail ibn Hujr yang diriwayatkan dalam Nasaaiy juz 2, halaman 125.

Ibnu Khuzaimah pun meriwayatkan hal yang sama, yang intinya Nabi Muhammad SAW terlihat menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan beliau, saat beliau sedang dalam sholat.

Ada pula pendapat lain dari Sahl ibn Sa’ad dalam hadits riwayat Bukhari juz 1, halaman 180. Yang intinya adalah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan para sahabat untuk meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri ketika dalam sholat.

2. Pendapat Melepaskan Tangan

Sementara itu ada penjelasan untuk pendapat yang kedua, yakni melepas kedua tangan ke samping badan. Ini berdasarkan yang tertulis dalam Nihayatul Muhtaj dari Imam Ramli, yang dalam Bahasa Indonesia lebih-kurang demikian, bahwa maksud dari meletakkan kedua tangan ke bawah dada itu lain.

Maksudnya adalah untuk seorang yang sholat dalam posisi berdiri, kedua tangannya demikian sampai dia mau ruku.

“(Bila akan ruku’ baru lepas). Teks itu tidak berlaku untuk posisi berdiri i'tidal. Ketika i'tidal, jangan menaruh kedua tangan pada bawah dada, tetapi lepaskan keduanya. Baik ketika membaca lafal dzikirnya i'tidal, maupun bahkan sesudah selesai qunut.”

Sunnah untuk melepaskan kedua tangan dan tidak bersedekap saat melakukan i’tidal. Jadi sesudah ruku, Anda mengangkat tangan dengan kedua telapaknya sejajar telinga, kemudian melepaskan keduanya ke samping.

Syekh Al-Bakri pun berpendapat serupa mengenai ini. Penjelasannya ada dalam kitab berjudul I’anatut Thalibin, dan artinya adalah sebagai berikut:

“Bahwa yang paling baik adalah bisa secara bersamaan mengangkat kedua tangan sekaligus pula dengan kepala, ketika dalam sholat. Sampai orang tersebut selesai berdiri tegak pada posisi lurus sempurna. Sesudahnya baru kedua tangan lepas ke samping badan.”

Doa dan Bacaan I'tidal yang Shahih

Anda kini sudah tahu mengenai tata cara gerakannya. Sekarang, bagaimana sebenarnya bacaan sholat ketika i’tidal? Seperti yang ada dalam risalah tuntunan sholat lengkap, pada halaman 43.

1. Ketika Mengangkat Tangan

Bunyi bacaan iktidal saat melakukan gerakan ini tepat sesudah ruku adalah:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami Allahu liman hamidah.

Artinya: "Allah SWT pasti mendengar suara mereka yang senantiasa memuji-Nya."

2. Dalam Posisi Berdiri

Setelahnya, sebelum sujud dan dalam posisi masih berdiri tegak, lanjutkan dengan membaca doa i’tidal panjang ini:

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Rabbana lakal-hamdu mil'us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil'u maa syi'ta min sya'in ba'du.

Dan artinya: "Ya Allah Tuhan kami! Bagi-Mu lah segala puja dan puji, sepenuh langit juga bumi, pula sepenuh barang yang menjadi kehendak Engkau sesudah itu."

Perbedaan Pendapat Tasmi’ dan Tahmid

Ulama-ulama memiliki silang pendapat ihwal hukum dalam membaca kalimat tasmi’, yakni sami’allahu liman hamidah, dan tahmid, yakni rabbana walakal hamdu. Perbedaan tersebut yaitu:

1. Ulama Hambali

Pendapat ini mengatakan bahwa hukum untuk keduanya adalah wajib dibaca, baik oleh imam maupun bila munfarid. Namun untuk makmumnya, yang wajib hanya tahmid saja.

2. Jumhur Ulama

Ini merupakan pendapat dari banyak ulama, bahwa hukum baik terhadap tasmi’ maupun tahmid itu sunnah. Kendati mereka punya perbedaan pendapat pada rinciannya:

Imam Abu Hanifah dan Ulama Malikiyah mengatakan bahwa seorang imam hanya sunnah untuk membaca tasmi’, sementara tahmid-nya tidak perlu. Sedangkan untuk makmum adalah sebaliknya. Sunnah untuk hanya membaca tahmid, sementara tasmi’-nya tidak perlu. Namun yang munfarid sunnah untuk membaca dua-duanya.

Abu Yusuf Al-Hanafi serta salah satu riwayat pendapat yang berasal dari Abu Hanifah, berpendapat bahwa imam dan munfarid sama-sama sunnah untuk membaca dua-duanya sekaligus. Sedangkan untuk makmum, sunnah-nya hanya membaca tasmi’.

Ulama Syafi’iyyah lebih menyeluruh, yakni baik imam, makmum, hingga yang munfarid pun sama-sama sunnah untuk membaca tasmi’ juga tahmid. Ini bersumber dari Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27/92-94.

Terlepas dari bagaimana perbedaan mengenai pembacaan tasmi’ dan tahmid ini, pendapat yang rajih ialah yang pertama. Bahwa pembacaan tasmi’ dan tahmid hanya wajib untuk imam dan orang yang munfarid, sementara  makmum wajibnya cukup tahmid saja.

Syekh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin, Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, serta Syekh Abdul Aziz ibn Baz pun menguatkan pendapat ini.

Baca juga:

Syarat Pelaksanaan I'tidal

Menurut penuturan dari Syekh Nawawi melalui kitab Kasyifatus Saja, terdapat tiga syarat dalam melaksanakan salah satu gerakan rukun sholat ini. Seperti antara lain:

Bangkit dari posisi ruku, tanpa ada maksud dan tujuan lainnya kecuali hanya i’tidal.

Membarengi i’tidal dengan tuma'ninah sesudahnya. Posisi badan tetap tegak berdiri dalam keadaan tenang dan diam, sambil melafalkan doa i’tidal dalam sholat.

Jangan terlalu lama berdiri dengan tuma’ninah saat i’tidal, hingga lebih lama dari berdiri ketika membaca Al-Fatihah. Rukun ini adalah gerakan yang pendek. Jadi tidak boleh sampai berlama-lama.

Keutamaan Doa dan Bacaan I'tidal

1. Menghapus Dosa

Berdasarkan hadits shahih riwayat dari Imam Bukhari, Rasulullah SAW mengingatkan tentang adanya keutamaan dalam membaca doa i'tidal.

"Bila seorang imam sholat berjamaah mengucap lafal ‘sami'allahu liman hamidah,' hendaknya jawab dengan melafalkan 'rabbana lakal hamdu'. Barang siapa saja yang kemudian ucapannya tadi bersamaan dengan ucapan dari malaikat, maka dosa-dosanya dari yang telah berlalu akan dihapuskan."

2. Malaikat Berlomba-Lomba Mencatat

Masih menurut hadits yang shahih riwayat Imam Bukhari, ada lagi penjelasan mengenai keutamaan mengucapkan doa dan bacaan i'tidal. Ketika melihat 30-an malaikat, yang saling berlomba-lomba untuk lebih dulu dalam mencatat amalannya.

Hukum-Hukum Terkait Gerakan dan Bacaan I’tidal

Bicara soal fiqih dan rukun dalam sholat, pasti ada pula hukum-hukum yang menyertainya, antara lain:

1. Iktidal Merupakan Rukun Sholat

Ini adalah satu ketentuan utama yang sudah pasti. Bahkan Abu Hurairah pun menguatkan itu melalui hadits yang artinya:

“Kemudian ruku’lah dan sertai tuma’ninah saat ruku’. Kemudian bangkit dan beriktidal-lah sembari berdiri. Lalu sujudlah dan sertai tuma’ninah saat sujud. Lalu bangkit dan duduklah antara dua sujud dengan tuma’ninah. Lalu sujudlah kembali sambil dengan tuma’ninah saat sujud. Lakukanlah yang seperti itu dalam sholat-sholatmu.”

Hadits pun menyebutkan semua hal tentang orang-orang yang sholat-nya buruk, sehingga menjadi hukum asal gerakan-gerakan sholat yang wajib. Setidaknya sampai benar-benar ada dalil yang bisa memalingkannya.

2. Batasan Tuma’ninah I’tidal

Para ahli fiqih telah sedari lama menegaskan untuk melakukan gerakan i’tidal dengan tuma’ninah yang menyertainya. Setidaknya menurut para imam besar, berikut penjelasannya:

  • Malikiyyah membatasi gerakan i’tidal selama tidak mencondongkan badan.
  • Hanabilah membatasinya selama gerakannya jauh dari batas-batas ruku. Sedangkan batasan untuk gerakan i’tidal yang baik yaitu meluruskan dan menegakkan seluruh badan hingga kembali ke posisi semula. Kendati tidak jadi soal bila badannya sedikit membungkuk, selama tetap dalam posisi badan tegap, tegak, lurus, terutama tenang dengan tuma’ninah. Posisinya sendiri masih termasuk berdiri.
  • Syafi’iyyah pun membatasi i’tidal itu sendiri sama dengan batasan berdiri saat sholat. Berdiri dengan menegakkan tulang belakang, tidak membungkuk atau sedikit saja condong. Kurang dari itu maka sholat-nya bisa tidak sah, karena tidak termasuk berdiri.
  • Tuma’ninah pun notabenenya adalah kembali menegakkan anggota badan seperti sebelum ruku. Seorang yang sholat pun hendaknya menyengaja i’tidal saat bangkit dari ruku.
  • Gerakan i’tidal pun bisa menjadi tidak sah. Bila proses berdirinya dari ruku itu cepat atau dengan cara terkejut, lalu kembali lagi. Ini juga ada dalam hadits Abu Hurairah, sebagaimana yang tadi sudah disinggung, mengenai orang-orang yang buruk dalam sholat.

Bacaan i'tidal bukan hanya lafadz biasa yang menyertai gerakan rukun dalam sholat. Namun juga ada keutamaannya. Bacaan gerakan i’tidal pun hendaknya tidak sampai membuat posisi berdiri dengan tuma’ninah menjadi terlalu lama.

Posting Komentar